Rabu, April 16, 2025
Custom Image Size
Custom Image

Puskapol UI Sebut Sistem Proporsional Terbuka Perlu Evaluasi Jika Dipertahankan

"Kalau misalnya kita tetap di sistem proporsional daftar terbuka, ini perlu ada beberapa yang dievaluasi," kata Delia saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025).

Oleh admin 2

Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Delia Wildianti memaparkan sejumlah evaluasi yang perlu dilakukan apabila sistem proporsional terbuka tetap dipertahankan sebagai sistem pemilu di tanah air.

“Kalau misalnya kita tetap di sistem proporsional daftar terbuka, ini perlu ada beberapa yang dievaluasi,” kata Delia saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025).

Dia menyebut perlu dilakukan evaluasi terhadap proses rekrutmen calon legislatif (caleg) dalam penerapan sistem proporsional terbuka di tanah air. Dia merekomendasikan seorang caleg harus melewati dengan seksama tahapan-tahapan rekrutmen dan kaderisasi oleh partai politik.

Menurut dia, sistem proporsional terbuka dalam praktiknya membawa kelemahan institusionalisasi partai politik dan kerap membuat partai politik hanya dijadikan sebagai penyedia tiket bagi seorang caleg untuk berkompetisi pada pemilu.

“Sehingga tidak ada istilahnya caleg kutu loncat gitu ya, tiba-tiba caleg masuk di dalam partai politik, padahal tidak punya gagasan, tidak punya Ideologi partai, tidak tau mau mengembangkan seperti apa,” katanya.

Selain itu, dia menyebut data caleg yang berkompetisi pada pemilu perlu dibuka lebih transparan kepada masyarakat. Menurut dia, data caleg harus selalu ditampilkan dan dapat diakses oleh publik, sepanjang tidak melanggar data pribadi.

“Data yang sifatnya publik, yang harus diketahui oleh masyarakat, itu harus disampaikan karena tujuan dari sistem proporsional terbuka adalah memilih caleg yang akan mewakili pemilihnya,” ucapnya.

Kemudian, dia menuturkan perlunya penguatan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan di parlemen, di samping menggunakan kuota minimum sebesar 30 persen.

“Mau tidak mau, untuk mendorong percepatan akselerasi kesetaraan itu juga perlu dibantu dengan penguatan afirmasi,” tuturnya.

Padahal, lanjut dia, DPR sebagai representasi wakil rakyat seharusnya mampu menghadirkan representasi perempuan itu sendiri yang jumlahnya lebih dari separuh penduduk di Indonesia.

Hal tersebut, ujarnya lagi, dapat dilakukan dengan mengusulkan pasal baru terkait penguatan kebijakan afirmasi perempuan.

“Selain kuota “zipper system” murni, jadi di antara dua (caleg) ada satu perempuan, tapi juga kita bisa mendorong sebetulnya berkaitan dengan ketentuan posisi nomor urut 1 di 30 persen daerah pemilihan untuk perempuan,” paparnya.

Meski demikian saat di awal paparan, Delia mengingatkan bahwa kekurangan dari penerapan sistem proporsional terbuka ialah berimplikasi pada maraknya praktik politik uang dan kurang mendukung kesetaraan gender.

“Terjadinya kompetisi intrapartai dan antarpartai yang tidak sehat. Misalnya, pertukaran suara, pemberian suara di internal partai, serta banyaknya terjadi pencurian atau jual beli suara kandidat dan/atau partai politik,” ucap dia. [ed]

Artikel Menarik Lainnya

Situs ini menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda. Anda dianggap setuju, tetapi dapat menolaknya jika diinginkan. Setujui Baca Selengkapnya